Wednesday, March 28, 2007

Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman

oleh Maraike J. B. Bangun

Kemiskinan adalah sebuah kenyataan yang kita temukan sehari-hari. Banawiratma (1993: 125) berkata bahwa berbicara tentang kemiskinan berarti berarti berbicara tentang manusia-manusia yang berwajah dan bernama seperti kita. Ia juga menegaskan bahwa ada bahaya jika orang miskin hanya dilihat sebagai objek amal baik. [Baik didiskusikan bahaya yang mengancam.] Menurutnya ada dua kemiskinan:
  • Kemiskinan mutlak berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan (air bersih, sanitasi), kerja yang wajar dan pendidikan dasar tak terpenuhi; apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti misalnya partisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan. Bentuk yang paling ekstrem adalah kelaparan yang bisa mengakibatkan kematian.
  • Kemiskinan relatif menyangkut pembagian pendapatan nasional dan berarti bahwa ada perbedaan yang mencolok antara berbagai lapisan atau kelas dalam masyarakat. Pasti ada orang yang dapat disebut miskin dibandingkan dengan orang yang sangat kaya raya. Di negara-negara berkembang, orang yang relatif miskin juga miskin secara mutlak. Namun, dalam masyarakat yang sangat makmur tak mustahil bahwa orang yang relatif miskin dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka.

    -- 3% orang yang kaya raya dan pada umumnya juga berkuasa.
    -- 17% orang kelas menengah yang hidup lebih daripada cukup dan pada umumnya juga bisa disebut relatif kaya.
    -- 40% orang hidup pas-pasan, jadi bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi selalu terancam masuk kelompok orang miskin mutlak kalu tertimpa oleh musibah, penyakit,
    kecelakaan, pengangguran dan sebagainya).
    -- 40% orang melarat mutlak yang tidak bisa hidup secara layak dan kecil peluangnya untuk keluar dari keadaan ini.

Persoalan kemiskinan menurut Sularto, seperti yang dikutip oleh Pdt. Daniel Susanto adalah sebagai berikut: “Kemiskinan memang realitas yang segera terlihat dengan tidak dibereskannya KKN. Pada tahun 1999 tingkat kemiskinan mencapai 16 persen atau 36 juta jiwa.”

Data terakhir tentang kemiskinan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 meningkat lagi, menjadi sebanyak 39, 05 juta orang atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk.

Pada Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2006, garis kemiskinan dihitung sebesar Rp. 152.847,- per kapita per bulan. Artinya, terdapat 39,05 juta orang yang berpenghasilan Rp. 152.847,- per bulannya. Pengangguran sendiri saat ini mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 persen dari 106,9 juta angkatan kerja yang ada. Pengangguran dan kemiskinan ini dapat mengakibatkan stres dan berbagai dampak sosial yang tidak menguntungkan seperti peningkatan kriminalitas, kecemburuan sosial, tindak kekerasan, kerusuhan massal, bahkan de-stabilitasi politik.

Menurut Banawiratma sikap kita terhadap kemiskinan antara lain adalah mengelak kalau memang tidak enak dilihat (sikap ini mempermudah pembenaran kemiskinan sebagai kesalahan orang miskin sendiri atau sebagai masalah abadi yang akan selalu ada); sebagai masalah penyelidikan atau sebagai kesempatan untuk beramal baik tanpa harus melibatkan diri; keprihatinan dan tantangan yang terwujud dalam live in; dari sudup pandang orang melarat kemiskinan dialami sebagai hidup dan perjuangan sehari-hari.

Daniel Susanto menjelaskan bahwa Gereja sebaiknya tidak hanya melakukan pelayanan terhadap dunia secara karitatif (‘memberikan ikan pada seseorang’ pada saat natal atau paskah) atau secara reformatif (‘memberikan pancing’ dengan melakukan pelatihan atau pendidikan khusus) tetapi juga masuk ke dalam pelayanan yang transformatif (pada kenyataannya orang yang sudah memiliki pancing tidak dapat memancing karena kolam, sungai, atau laut sudah dikuasai orang). Pelayanan transformatif adalah pelayanan yang memberdayakan, termasuk membebaskan orang dari belenggu-belenggu struktural yang tidak adil.

Menurut Banawiratma pengalaman orang miskin yang paling berat adalah ketidakberdayaan dan ketergantungan. Orang miskin hidup bagaikan dalam penjara dengan tembok tinggi yang tak bisa dilampaui, bahkan melihat ke luar pun tidak mungkin. Mereka hidup dalam keadaan terbelenggu hampir tanpa harapan. Mereka tak ada pengalaman selain kemiskinan. Mereka tak punya pendidikan yang bisa membuka mata, mereka tak punya kuasa dan koneksi, mereka tak punya modal. Dan kalau mereka berusaha maju, maka hampir pasti akan terkena macam-macam halangan dan rintangan.

Siapa orang miskin dalam Alkitab? Banawiratma menjelaskan bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah memperhatikan, melindungi, dan membela orang miskin dan malang. Allah berbelas kasih terhadap orang-orang miskin, orang lemah, anak yatim piatu, para janda dan pengungsi. Kepada Allah yang sedemikian lah orang-orang miskin menaruh harapan.

Dalam Injil, terlihat hubungan yang sangat mencolok antara orang-orang miskin dengan Yesus. Kaum miskin yang dihadapi Yesus adalah orang-orang miskin secara fisik, ekonomis, sosial, politis dan religius. Mereka berdiri dalam barisan terdepan, sebagai alamat yang dituju oleh kabar gembira Yesus. Dalam perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 25-37) tampak jelas sekali, bahwa mendahulukan orang tak berdaya tanpa pertolongan adalah wujud cinta kepada sesama.

Mencintai sesama berarti menjadi sesama bagi orang yang setengah mati, tak berdaya, tanpa pertolongan. Preferential option (love) for the poor, tidak lain adalah wujud mencintai sesama sebagaimana Yesus mencintai. Masyarakat baru, masyarakat penuh persaudaraan dimulai, di mana jurang antara yang kaya dengan yang miskin diatasi (lihat Kis. 4: 32-34). Tentu saja ini akan menjadi kabar sukacita atau berita baik bagi orang miskin! Ingat, Injil adalah kabar sukacita atau berita baik.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mengubah paradigma kita tentang kemiskinan (contoh: kemiskinan akan selalu ada (Mat. 26:11), sudah menjadi nasibnya untuk menjadi miskin, mereka miskin karena malas dan sebagainya). Mat. 26: 11 adalah kutipan dari Ulangan 15.

Kraybill menjelaskan bahwa dalam pasal ini Allah berkata bahwa apabila mereka patuh maka tidak akan ada orang miskin dalam negeri itu. Allah kemudian berkata, apabila mereka mengeraskan hatinya orang miskin akan tetap ada di antara mereka. Selama ada ketamakan dan egoisme, selama itu pula akan ada orang-orang miskin di tengah-tengah mereka. Apakah ini membenarkan sikap masa bodoh yang kejam terhadap orang miskin? Justru sebaliknya! Baca Ul. 15: 11.

Keterlibatan dalam tiga bentuk:

  • Kunjungan ke komunitas-komunitas orang miskin, pertemuan-pertemuan, pendampingan terbatas, dukungan terhadap komunitas-komunitas beserta gerakan-gerakan mereka.
    Kerja ilmiah, menjalankan penelitian, menyampaikan penalaran profetis, kritis-kreatif, yang didorong oleh keterlibatan praktis.
  • Hidup di tengah rakyat dan bekerja bersama rakyat miskin.
  • Banawiratma menegaskan bahwa prinsip dasarnya adalah: segala bantuan bagi orang miskin harus membantu mereka supaya diri mereka sendiri semakin sanggup untuk membantu diri sendiri. Pembangunan harus dijalankan bukan saja untuk bagi, tetapi juga bersama dengan dan oleh rakyat sendiri, agar rakyat, terutama kaum miskin, semakin sanggup menangani nasibnya sendiri. Proses semacam ini adanya pemberdayaan diri mereka yang miskin (empowerment).

Ada usulan lain? Mari kita diskusikan.

Sumber Pustaka:
Susanto, Daniel, Pelayanan Pastoral di Indonesia pada Masa Transisi: Orasi Dies Natalis ke-72 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta: UPI STT Jakarta, 27 September 2006.
Kraybill, Donald B. Kerajaan yang Sungsang. Cet. 5. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Banawiratma, J. B. Dan J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Thursday, January 18, 2007

Apakah yang dimaksud dengan Teologi Pembebasan?

Teologi Pembebasan (Liberation Theology) merupakan suatu aliran teologi yang lahir di Amerika Latin pada tahun 1960 an, yang kemudian juga mempengaruhi Amerika Utara dan Asia. Ada beberapa bagian Alkitab yang sering dipakai oleh penganut Teologi Pembebasan sebagai landasan pengajaran mereka yakni:

Kisah yang tercantum dalam Kitab Keluaran, tatkala bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan penderitaan.

Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55* ".... Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa ...."

Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Mesias: "... untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang yang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk 4:18-19*).

Penghakiman terakhir yang terdapat dalam Injil Matius 25:31-46*, di mana penghakiman Tuhan berdasarkan sikap seseorang terhadap orang-orang yang menderita dan miskin.

Dari bagian-bagian Alkitab tersebut, mereka menarik kesimpulan bahwa Tuhan bersikap pilih kasih kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang tertindas (partiality of God). Gustavo Gutierez adalah seorang ahli teologi yang paling terkenal di kalangan penganut Teologi Pembebasan. Dengan bukunya yang berjudul "Liberation Theology", beliau merintis ajaran Teologi Pembebasan. Beliau mengatakan bahwa agama Kristen tradisional hanya memperhatikan orang-orang yang belum percaya (non-believers), tetapi telah mengabaikan kebutuhan orang-orang yang kemanusiaannya tertindas (non-persons).

Sebetulnya, konsep ini mulai terkandung dalam pemikirannya tatkala beliau mengunjungi orang-orang yang miskin, menderita dan tertindas. Cukupkah kita hanya mengatakan kepada mereka: "Kamu adalah anak Tuhan, nanti di surga kamu akan menikmati kemuliaan"; padahal kita sama sekali mengabaikan penderitaan mereka pada masa kini.

Maka, Gutierrez mengutarakan suatu istilah yaitu "Praxis." Beliau berpendapat bahwa pusat pembicaraan teologi bukan keadaan manusia setelah mati (after death), melainkan keadaan manusia setelah lahir di dunia (after birth). Dengan lain kata, inti pembicaraan teologi adalah bagaimana manusia hidup sesuai dengan kemuliaan Tuhan.

John Sobrino, tokoh yang terkenal di kalangan Teologi Pembebasan, dalam bukunya yang berjudul "The True Church and the poor" mengatakan bahwa pada zaman ini, orang-orang miskin merupakan saluran dimana Roh Tuhan menyatakan diri-Nya. Selanjutnya Sobrino mengatakan bahwa misi yang dikandung oleh Tuhan Yesus adalah suatu bentuk gereja, dimana gereja itu bukan saja di sebut gereja untuk orang miskin, tetapi juga gereja orang-orang miskin yang benar (a Chruch not only for the poor, but the true chruch of poor).

Teologi Pembebasan juga menentang developmentalisme yang terjadi di dunia ketiga pada umumnya dan Amerika Latin pada khususnya. Mereka berpendapat bahwa penanaman modal asing untuk "mengambangkan" dunia ketiga, mempunyai banyak unsur negatif. Apa yang dibutuhkan oleh negara-negara tersebut bukan "perkembangan", tetapi perubahan sistem kemasyarakatan merreka. Untuk memperoleh kemerdekaan dan pembebasan dari penderitaan, bila perlu mereka boleh memakai kekerasan untuk menggulingkan penguasa yang menindas mereka.

Karena hal yang demikian itulah maka di Amerika Latin banyak pemimpin Teologi Pembebasan telah berkorban dan mati terbunuh. Salah satu contoh terjadi di Nicaragua, di mana banyak pemimpin Teologi pembebasan berpihak kepada rakyat yang tertindas, telah terjun ke dalam usaha menggulingkan penguasa negara tersebut untuk mendirikan pemerintahan demokrasi.

Pada umumnya penganut "Teologi Pembebasan masih tetap tinggal dalam gereja mereka masing-masing tetapi di luar gereja mereka telah membentuk kelompok-kelompok kecil untuk berhimpun bersama-sama berdoa, membaca Alkitab dan sharing.

Setelah membahas pandangan Teologi Pembebasan tentang orang-orang yang tertindas dan miskin, kita boleh memberi komentar sebagai berikut:

Teologi Pembebasan mengatakan bahwa Tuhan "pilih kasih" kepada orang miskin. Menurut pandangan kami, istilah yang lebih tepat adalah Tuhan "membela" keadilan bagi orang yang miskin dan tertindas. Gereja harus berbicara untuk keadilan dan perikemanusiaan. Jangan menghina atau menindas orang miskin.

Teologi Pembebasan terlalu mengidealisasikan atau mendewa-dewakan orang miskin, seolah-oleh hanya mereka yang akan mewarisi kerajaan surga dan yang mengerti makna teologi. Kita mengakui bahwa tatkala Kristus masih hidup dalam dunia, Ia selalu bergaul dengan rakyat jelata dan memperhatikan kebutuhan orang miskin, tetapi Ia juga menyelamatkan Zakheus pemungut cukai yang kaya. Unsur yang menyebabkan seseorang diselamatkan, bukan situasi keungannya dan atau miskin, tetapi tergantang apakan apakah Ia beiman kepada Tuhan atau tidak.

Kalau dikatakan Injil Kristus ditujukan bagi orang-orang yang miskin, hal ini mempunyai dua arti, yaitu miskin di dalam hal materi dan miskin di dalam kerohaniannya. Kalau mereka merendahkan diri di hadapan Tuhan, merekapun akan diselamatkan.

Sebaliknya Tuhan pun tidak pernah menjanjikan bahwa setiap orang miskin, hal ini mempunyai dua arti, yaitu miskin di dalam hal materi dan miskin di dalam kerohaniannya. Kalau mereka merendahkan diri untuk menerima keselamatan-Nya. Bahkan Tuhan mengatakan jikalau hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang- orang Farisi,mereka tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga.

Banyak gereja telah dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan. Di Amerika Serikat misalnya, telah muncul Black Theology dan Feminist Theology. Kita mengakui bahwa teologi yang benar harus disertai dengan kelakuan yang benar. Teori harus diimbagi dengan praktek. "Praxis" orang Kristen adalah cara pemikiran dan penghidupan yang sangat mempengaruhi teologi dan hermeneutika gereja pada zaman ini.

Memang secara keseluruhan, Teologi Pembebasan mempunyai nilai yang tertentu dalam perkembangan teologi masa kini. Namun, kita harus mengetahui bahwa Teologi Pembebasan yang berlaku di Amerika Latin, mempunyai kekhususan yang tentu sesuai dengan situasi di sana. Gereja-gereja Indonesia, baik di Amerika Utara maupun di tanah air, menghadapi situasi dan kebutuhan yang berbeda dengan gereja-gereja di Amerika Latin. Kita perlu mempelajari teologi yang kontemporer dan relevan dengan keadaan kita masing-masing agar kita dapat mengintegrasikan iman kita dalam doktrin yang benar.

http://www.sabda.org/c3i/online_book/bab/isi/?id=661&id_b=109&mulai=0#17307

Diakses pada tanggal 18 Januari 2007

KWI dan PGI Dukung Seruan Tobat Nasional

Upaya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional mendapat dukungan penuh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Karena, bencana alam dan bencana sosial yang datang bertubi-tubi menimpa negeri ini sudah di luar kemampuan manusia lagi untuk menghentikannya.

Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia, Benny Susetyo Pr, seruan pertobatan nasional yang diserukan oleh PBNU akan ada efeknya bila para elite politik memperbaharui diri dengan menciptakan habitus atau kebiasan serta cara hidup yang mengedepankan aspek kemanusian dan keadilan.

"Dengan berorientasi kepada dua hal pokok tersebut berarti para pemimpin dan elite politik mengedepankan kemandirian masyarakat bukan lagi penghambaan pada tuan kapitalisme global. Ini adalah bentuk pertobatan yang mendasar," ujar Romo Benny.

Dikatakan pertobatan yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku pejabat dan elite politik untuk tidak lagi berpikir kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri karena bencana yang bertubi-tubi justru mengingatkan bangsa ini agar pejabat publik segera menghentikan perilaku mereka yang selama ini menindas rakyat dengan membuat kebijakan yang hanya menguntungkan para pemodal. Ditambah lagi adanya perselingkuhan antara pejabat pemerintah dengan pengusaha yang membuat rakyat semakin terjebak dalam kemiskinan.

Komitmen Umat Kristen
Sedangkan PGI menegaskan pihaknya sangat mendukung seruan yang disampaikan oleh PBNU agar seluruh bangsa Indonesia segera melakukan tobat nasional. Dalam Sidang Raya ke empat belas PGI dua tahun lalu PGI juga menyerukan hal yang sama dan menjadi komitmen umat Kristen di Indonesia.

"Komitmen Sidang Raya PGI adalah bersama-sama dengan seluruh elemen bangsa mewujudkan masyarakat sipil yang kuat dan demokratis untuk menegakkan kebenaran, hukum yang berkeadilan, serta memelihara perdamaian," ujar Wakil Sekretaris Umum PGI, Pdt Weinata Sairin.

Dalam seruan tobat nasional PBNU disebutkan agar seluruh bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya," demikian salah satu butir seruan yang dibacakan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.

Hasyim meminta seruan tersebut dapat disiarkan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Indonesia. Pasalnya, hal tersebut bukan hanya untuk kepentingan NU semata, melainkan untuk kepentingan dan keselamatan seluruh bangsa. "Ini tidak hanya untuk NU, tapi untuk bangsa Indonesia," katanya.

Sebelumnya, PBNU menyerukan hal yang sama kepada warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU). Pimpinan tertinggi organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air itu meminta kepada seluruh nahdliyin untuk melakukan puasa sunnah tasu'a dan asyura yang dimulai dengan puasa sunnah mutlaqah sejak tanggal 1-10 Muharram 1428 H/20-30 Januari 2007. PBNU juga mengimbau sebanyak mungkin ber-istighfar dan membaca hauqolah (mohon kekuatan kepada Allah).

Hasyim menegaskan, segala persoalan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini adalah akibat dari perbuatan dan kesalahan yang dilakukan bersama-sama. Oleh karenanya, untuk mengakhiri hal itu semua dan permohonan ampun terhadap Tuhan harus dilakukan secara bersama-sama pula.

"Koruptor kecil dikejar-kejar, sementara koruptor besar digelarkan karpet merah (tanda penghormatan), illegal logging, kelaparan jamaah haji, hilangnya pesawat Adam Air, kasus lumpur Lapindo yang sampai saat ini belum selesai, dan lain sebagainya, semuanya adalah kesalahan kolektif kita sebagai bangsa," terang Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur ini.

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/01/17/Nasional/nas01.htm
Diakses pada tanggal 178 Januari 2007.

Sunday, January 14, 2007

Tiga Model Pelayanan Gereja

Bicara tentang kiprah pelayanan gereja dalam pemberdayaan anggotanya, bahkan sampai menyentuh kepentingan masyarakat luas, serta membangun kua- litas kehidupan manusia yang le-bih baik, dapat digolongkan dalam tiga model pendekatan pelayanan karitatif, reformatif dan transformatif.


Pelayanan diakonia sebenarnya tidak hanya dilakukan institusi gereja. Lembaga Swadaya Masyarakata (LSM) sudah amat akrab dengan pemberdayaan masyarakat, tanpa membedakan agama, golongan, suku. Bagi institusi gereja praktik berdiakonia dilakukan sebagai suatu "panggilan iman" untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik, damai sejahtera dapat dialami umat manusia, dibebaskan dari penderitaan, kelaparan dan mereka mendapatkan hak hidup yang layak.


Pelayanan karitatif adalah model tertua dari bentuk pelayanan gereja yang dilakukan, dan sampai saat ini masih juga dilakukan. Pelayanan ini cepat dirasakan manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi darurat yang amat mendesak dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera, misalnya bencana alam.


Bentuknya misalnya bantuan kepada janda atau warga jemaat yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pemberian beras, uang. Di masyarakat bentuknya pasar murah, pembagian sembako, pengobatan masal, posko kesehatan di daerah bencana. Tentu saja kalau dipraktikkan, maksudnya bukan untuk menjaring anggota luar masuk menjadi anggota gereja, tapi kita ingin berbagi cinta kasih yang tulus kepada mereka.


Pelayanan Reformatif
Model kedua merupakan pengembangan diakonia karitatif yang dirasakan tidak dapat menjawab persoalan untuk jangka panjang. Setelah banjir berlalu, dan persediaan sembako habis, lalu subyek yang dilayani mau apa? Apakah mereka hanya makan dan cukup gizi pada bulan Desember ketika ada pasar murah untuk mereka?


Pertanyaan ini mengusik perhatian banyak orang dan para tokoh dalam gereja yang berpikir kritis untuk memandirikan subyek yang dilayani dan dapat menghidupi di- rinya sendiri. Seiring keprihatinan tersebut, munculnya suatu konsep "ideologi pembangunan" yang dipromosikan negara maju, terutama oleh Amerika pada pertengahan tahun 1960.


Model diakonia ini lebih menekankan aspek pembangunan, daripada sekadar tindakan kharitas- amal kasih semata-mata. Pendekatan yang dilakukan memakai pola Community Development (CD) dengan pengembangan masyarakat seperti pembangunan kesehatan dan penyuluhannya, kelompok usaha bersama dengan kelompok simpan pinjam, pemberian beasiswa untuk pendidikan.


Perlu dicatat, Konferensi Gereja dan Masyarakat di Jenewa tahun 1966 dan Sidang Raya Dewan Gereja sedunia IV di Upsala-Swedia tahun 1968 telah meletakkan dasar pijakan teologis tentang partisipasi gereja dalam pembangunan dan masalah sosial masyarakat.


Akibatnya, muncul kesadaran gereja untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan memikirkan persoalan kemasyarakatan lainnya. Gereja tidak lagi mau menjadi menara gading untuk dirinya sendiri. Ada masalah-masalah sosial yang muncul dipermukaan, yang harus diatasi seperti terjadinya diskriminasi, ketidakadilan internasional, dan tugas-tugas politik gereja membangun kesejahteraan umat manusia.


Maka diakonia gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif ke diakonia reformatif, termasuk Gereja-gereja di Indonesia melalui DGI dengan didirikannya Yayasan Darma Cipta (development centre) pada Sidang Raya DGI pada Tahun 1971 di Pematang Siantar. Tentu saja pelayanan reformatif ini membantu masyarakat dalam menaikkan pendapatan termasuk pendapatan perkapita.


Pemerintah di seluruh dunia, terutama di dunia ketiga mulai mengintrodusir program pembangunan yang berorientasi pada model barat yaitu pertumbuhan ekonomi dengan bertumpu pada pembangunan teknologi tinggi. Pembangunan industri dengan teknologi canggih, penggunaan pestisida dalam pertanian, penyediaan bibit hibrida dan menciptakan pasar yang berorientasi ekspor.


Akibatnya dari ideologi ini banyak kota-kota modern dan pabrik megah yang dibangun. Tapi hasil panen yang menumpuk tetapi tidak dimiliki atau dinikmati oleh masyarakat luas. petani malah terjebak dalam kemiskinan.


Bahkan kenyataannya di beberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka panjang.


Pelayanan transformatif muncul sebagai alternatif ke tiga menjawab permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya dipelopori oleh gereja Amerika Latin mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana.


Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental ketergantungan); Juga tidak cukup, kalau kita memberinya pancing atau pacul untuk mencangkul, karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengail dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut dimiliki kaum pemilik modal yang mempunyai kapital?


Karena itu berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan perberdayaan bagi mereka. Pendekatan yang dilakukan adalah pola Community Organization (CO) dengan pendekatan pengorganisasian komunitas untuk dapat merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri.
Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali peran gereja dan tugasnya di dunia saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang statis, melainkan sebagai suatu "gerakan" yang terbuka bagi pembaharuan (agent of change) dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah. Karena itu gereja tidak harus menjadi besar dan megah fisiknya, melainkan Nilai Injil Kerajaan Allah harus hadir dan meresap dalam seluruh sendi kehidupan manusia.


Peran gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal. Maka teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang gereja) dan merefleksikan gereja secara kontekstual. Tokoh yang berperanan di antaranya adalah Gustavo Gutierrez dengan pendekatan ortopraksis.


Digunakannya analisis sosial budaya masyarakat, analisis SWOT dan perencanaan partisipatif dan melakukan jejaring dengan insti- tusi sosial yang ada, dan melaku-kan monitoring dan evaluasi partisipatif.


Pelayanan transformatif bukan mau menciptakan oposisi bagi pemerintah dan penguasa, tetapi menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas kehidupan yang lebih baik.


Oleh Agus Wiyanto
[Penulis adalah Rohaniwan]

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/01/13/Editor/edit01.htm
Diakses pada tanggal 15 Januari 2007