Kemiskinan adalah sebuah kenyataan yang kita temukan sehari-hari. Banawiratma (1993: 125) berkata bahwa berbicara tentang kemiskinan berarti berarti berbicara tentang manusia-manusia yang berwajah dan bernama seperti kita. Ia juga menegaskan bahwa ada bahaya jika orang miskin hanya dilihat sebagai objek amal baik. [Baik didiskusikan bahaya yang mengancam.] Menurutnya ada dua kemiskinan:
- Kemiskinan mutlak berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan (air bersih, sanitasi), kerja yang wajar dan pendidikan dasar tak terpenuhi; apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti misalnya partisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan. Bentuk yang paling ekstrem adalah kelaparan yang bisa mengakibatkan kematian.
- Kemiskinan relatif menyangkut pembagian pendapatan nasional dan berarti bahwa ada perbedaan yang mencolok antara berbagai lapisan atau kelas dalam masyarakat. Pasti ada orang yang dapat disebut miskin dibandingkan dengan orang yang sangat kaya raya. Di negara-negara berkembang, orang yang relatif miskin juga miskin secara mutlak. Namun, dalam masyarakat yang sangat makmur tak mustahil bahwa orang yang relatif miskin dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka.
-- 3% orang yang kaya raya dan pada umumnya juga berkuasa.
-- 17% orang kelas menengah yang hidup lebih daripada cukup dan pada umumnya juga bisa disebut relatif kaya.
-- 40% orang hidup pas-pasan, jadi bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi selalu terancam masuk kelompok orang miskin mutlak kalu tertimpa oleh musibah, penyakit,
kecelakaan, pengangguran dan sebagainya).
-- 40% orang melarat mutlak yang tidak bisa hidup secara layak dan kecil peluangnya untuk keluar dari keadaan ini.
Persoalan kemiskinan menurut Sularto, seperti yang dikutip oleh Pdt. Daniel Susanto adalah sebagai berikut: “Kemiskinan memang realitas yang segera terlihat dengan tidak dibereskannya KKN. Pada tahun 1999 tingkat kemiskinan mencapai 16 persen atau 36 juta jiwa.”
Data terakhir tentang kemiskinan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 meningkat lagi, menjadi sebanyak 39, 05 juta orang atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk.
Pada Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2006, garis kemiskinan dihitung sebesar Rp. 152.847,- per kapita per bulan. Artinya, terdapat 39,05 juta orang yang berpenghasilan Rp. 152.847,- per bulannya. Pengangguran sendiri saat ini mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 persen dari 106,9 juta angkatan kerja yang ada. Pengangguran dan kemiskinan ini dapat mengakibatkan stres dan berbagai dampak sosial yang tidak menguntungkan seperti peningkatan kriminalitas, kecemburuan sosial, tindak kekerasan, kerusuhan massal, bahkan de-stabilitasi politik.
Menurut Banawiratma sikap kita terhadap kemiskinan antara lain adalah mengelak kalau memang tidak enak dilihat (sikap ini mempermudah pembenaran kemiskinan sebagai kesalahan orang miskin sendiri atau sebagai masalah abadi yang akan selalu ada); sebagai masalah penyelidikan atau sebagai kesempatan untuk beramal baik tanpa harus melibatkan diri; keprihatinan dan tantangan yang terwujud dalam live in; dari sudup pandang orang melarat kemiskinan dialami sebagai hidup dan perjuangan sehari-hari.
Daniel Susanto menjelaskan bahwa Gereja sebaiknya tidak hanya melakukan pelayanan terhadap dunia secara karitatif (‘memberikan ikan pada seseorang’ pada saat natal atau paskah) atau secara reformatif (‘memberikan pancing’ dengan melakukan pelatihan atau pendidikan khusus) tetapi juga masuk ke dalam pelayanan yang transformatif (pada kenyataannya orang yang sudah memiliki pancing tidak dapat memancing karena kolam, sungai, atau laut sudah dikuasai orang). Pelayanan transformatif adalah pelayanan yang memberdayakan, termasuk membebaskan orang dari belenggu-belenggu struktural yang tidak adil.
Menurut Banawiratma pengalaman orang miskin yang paling berat adalah ketidakberdayaan dan ketergantungan. Orang miskin hidup bagaikan dalam penjara dengan tembok tinggi yang tak bisa dilampaui, bahkan melihat ke luar pun tidak mungkin. Mereka hidup dalam keadaan terbelenggu hampir tanpa harapan. Mereka tak ada pengalaman selain kemiskinan. Mereka tak punya pendidikan yang bisa membuka mata, mereka tak punya kuasa dan koneksi, mereka tak punya modal. Dan kalau mereka berusaha maju, maka hampir pasti akan terkena macam-macam halangan dan rintangan.
Siapa orang miskin dalam Alkitab? Banawiratma menjelaskan bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah memperhatikan, melindungi, dan membela orang miskin dan malang. Allah berbelas kasih terhadap orang-orang miskin, orang lemah, anak yatim piatu, para janda dan pengungsi. Kepada Allah yang sedemikian lah orang-orang miskin menaruh harapan.
Dalam Injil, terlihat hubungan yang sangat mencolok antara orang-orang miskin dengan Yesus. Kaum miskin yang dihadapi Yesus adalah orang-orang miskin secara fisik, ekonomis, sosial, politis dan religius. Mereka berdiri dalam barisan terdepan, sebagai alamat yang dituju oleh kabar gembira Yesus. Dalam perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati (Luk 10: 25-37) tampak jelas sekali, bahwa mendahulukan orang tak berdaya tanpa pertolongan adalah wujud cinta kepada sesama.
Mencintai sesama berarti menjadi sesama bagi orang yang setengah mati, tak berdaya, tanpa pertolongan. Preferential option (love) for the poor, tidak lain adalah wujud mencintai sesama sebagaimana Yesus mencintai. Masyarakat baru, masyarakat penuh persaudaraan dimulai, di mana jurang antara yang kaya dengan yang miskin diatasi (lihat Kis. 4: 32-34). Tentu saja ini akan menjadi kabar sukacita atau berita baik bagi orang miskin! Ingat, Injil adalah kabar sukacita atau berita baik.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mengubah paradigma kita tentang kemiskinan (contoh: kemiskinan akan selalu ada (Mat. 26:11), sudah menjadi nasibnya untuk menjadi miskin, mereka miskin karena malas dan sebagainya). Mat. 26: 11 adalah kutipan dari Ulangan 15.
Kraybill menjelaskan bahwa dalam pasal ini Allah berkata bahwa apabila mereka patuh maka tidak akan ada orang miskin dalam negeri itu. Allah kemudian berkata, apabila mereka mengeraskan hatinya orang miskin akan tetap ada di antara mereka. Selama ada ketamakan dan egoisme, selama itu pula akan ada orang-orang miskin di tengah-tengah mereka. Apakah ini membenarkan sikap masa bodoh yang kejam terhadap orang miskin? Justru sebaliknya! Baca Ul. 15: 11.
Keterlibatan dalam tiga bentuk:
- Kunjungan ke komunitas-komunitas orang miskin, pertemuan-pertemuan, pendampingan terbatas, dukungan terhadap komunitas-komunitas beserta gerakan-gerakan mereka.
Kerja ilmiah, menjalankan penelitian, menyampaikan penalaran profetis, kritis-kreatif, yang didorong oleh keterlibatan praktis. - Hidup di tengah rakyat dan bekerja bersama rakyat miskin.
- Banawiratma menegaskan bahwa prinsip dasarnya adalah: segala bantuan bagi orang miskin harus membantu mereka supaya diri mereka sendiri semakin sanggup untuk membantu diri sendiri. Pembangunan harus dijalankan bukan saja untuk bagi, tetapi juga bersama dengan dan oleh rakyat sendiri, agar rakyat, terutama kaum miskin, semakin sanggup menangani nasibnya sendiri. Proses semacam ini adanya pemberdayaan diri mereka yang miskin (empowerment).
Ada usulan lain? Mari kita diskusikan.
Sumber Pustaka:
Susanto, Daniel, Pelayanan Pastoral di Indonesia pada Masa Transisi: Orasi Dies Natalis ke-72 Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta: UPI STT Jakarta, 27 September 2006.
Kraybill, Donald B. Kerajaan yang Sungsang. Cet. 5. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Banawiratma, J. B. Dan J. Muller. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
No comments:
Post a Comment