Thursday, January 18, 2007

KWI dan PGI Dukung Seruan Tobat Nasional

Upaya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional mendapat dukungan penuh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Karena, bencana alam dan bencana sosial yang datang bertubi-tubi menimpa negeri ini sudah di luar kemampuan manusia lagi untuk menghentikannya.

Menurut Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia, Benny Susetyo Pr, seruan pertobatan nasional yang diserukan oleh PBNU akan ada efeknya bila para elite politik memperbaharui diri dengan menciptakan habitus atau kebiasan serta cara hidup yang mengedepankan aspek kemanusian dan keadilan.

"Dengan berorientasi kepada dua hal pokok tersebut berarti para pemimpin dan elite politik mengedepankan kemandirian masyarakat bukan lagi penghambaan pada tuan kapitalisme global. Ini adalah bentuk pertobatan yang mendasar," ujar Romo Benny.

Dikatakan pertobatan yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku pejabat dan elite politik untuk tidak lagi berpikir kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri karena bencana yang bertubi-tubi justru mengingatkan bangsa ini agar pejabat publik segera menghentikan perilaku mereka yang selama ini menindas rakyat dengan membuat kebijakan yang hanya menguntungkan para pemodal. Ditambah lagi adanya perselingkuhan antara pejabat pemerintah dengan pengusaha yang membuat rakyat semakin terjebak dalam kemiskinan.

Komitmen Umat Kristen
Sedangkan PGI menegaskan pihaknya sangat mendukung seruan yang disampaikan oleh PBNU agar seluruh bangsa Indonesia segera melakukan tobat nasional. Dalam Sidang Raya ke empat belas PGI dua tahun lalu PGI juga menyerukan hal yang sama dan menjadi komitmen umat Kristen di Indonesia.

"Komitmen Sidang Raya PGI adalah bersama-sama dengan seluruh elemen bangsa mewujudkan masyarakat sipil yang kuat dan demokratis untuk menegakkan kebenaran, hukum yang berkeadilan, serta memelihara perdamaian," ujar Wakil Sekretaris Umum PGI, Pdt Weinata Sairin.

Dalam seruan tobat nasional PBNU disebutkan agar seluruh bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya," demikian salah satu butir seruan yang dibacakan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.

Hasyim meminta seruan tersebut dapat disiarkan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Indonesia. Pasalnya, hal tersebut bukan hanya untuk kepentingan NU semata, melainkan untuk kepentingan dan keselamatan seluruh bangsa. "Ini tidak hanya untuk NU, tapi untuk bangsa Indonesia," katanya.

Sebelumnya, PBNU menyerukan hal yang sama kepada warga nahdliyin (sebutan untuk warga NU). Pimpinan tertinggi organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air itu meminta kepada seluruh nahdliyin untuk melakukan puasa sunnah tasu'a dan asyura yang dimulai dengan puasa sunnah mutlaqah sejak tanggal 1-10 Muharram 1428 H/20-30 Januari 2007. PBNU juga mengimbau sebanyak mungkin ber-istighfar dan membaca hauqolah (mohon kekuatan kepada Allah).

Hasyim menegaskan, segala persoalan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini adalah akibat dari perbuatan dan kesalahan yang dilakukan bersama-sama. Oleh karenanya, untuk mengakhiri hal itu semua dan permohonan ampun terhadap Tuhan harus dilakukan secara bersama-sama pula.

"Koruptor kecil dikejar-kejar, sementara koruptor besar digelarkan karpet merah (tanda penghormatan), illegal logging, kelaparan jamaah haji, hilangnya pesawat Adam Air, kasus lumpur Lapindo yang sampai saat ini belum selesai, dan lain sebagainya, semuanya adalah kesalahan kolektif kita sebagai bangsa," terang Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur ini.

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/01/17/Nasional/nas01.htm
Diakses pada tanggal 178 Januari 2007.

No comments: